Proyek Strategis JLU Cilegon: Antara Mimpi Infrastruktur, Jerat Utang, dan Blunder Administrasi
Oleh: Wawan Kurniadi / Seksi Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Cilegon.
Proyek Jalan Lingkar Utara (JLU) Cilegon bukan sekadar kisah pembangunan yang lamban. Ini adalah cerminan kegagalan perencanaan publik yang berulang kali menunda proyek strategis, dan kini hendak ditambal dengan solusi yang justru berpotensi membebani masa depan daerah dengan utang ratusan miliar.
Kabar bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Cilegon sedang menjajaki pinjaman dari pihak ketiga, seperti PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), untuk membiayai JLU, memang terdengar seperti terobosan. Namun, langkah ini harus disambut dengan skeptisisme. Bagaimana mungkin proyek yang mangkrak selama bertahun-tahun karena masalah internal, terutama rencana pembangunan tiba-tiba ingin diselesaikan dengan skema utang, yang konon nilainya mencapai Rp200-300 miliar? Polemik utama terletak pada aspek transparansi.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Cilegon benar-benar patut menyoroti dugaan ketiadaan rincian anggaran pinjaman ini secara spesifik dalam Dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tahunan. Dalih Wali Kota Cilegon yang menyebut skema pinjaman telah dikonsultasikan dengan Kementerian Dalam Negeri dan tidak cacat prosedur, tidak serta-merta menggugurkan prinsip akuntabilitas. Keengganan mencantumkan detail utang dalam dokumen perencanaan publik justru menimbulkan pertanyaan besar. Apakah ini upaya memangkas kontrol legislatif dan mempercepat proses tanpa due diligence yang memadai atau kelemahan pemerintah dalam perencanaan? Pinjaman sebesar itu, tanpa rincian yang terang benderang, berisiko menjadi warisan beban utang jangka panjang yang harus ditanggung oleh APBD Cilegon dan rakyatnya.
Persoalan pendanaan hanyalah lapisan kedua. Inti kegagalan proyek ini adalah blunder administratif yang melibatkan manajemen lahan. Setelah bertahun-tahun, JLU masih terhambat masalah klasik yakni pembebasan ratusan bidang tanah, baik milik warga maupun industri.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah fakta bahwa proses pengadaan tanah sempat terhenti karena masa penetapan lokasi (Penlok) telah berakhir sejak April 2022. Ini adalah kecerobohan birokrasi yang seharusnya tidak terjadi pada proyek vital skala kota.
Blunder ini menunjukkan lemahnya koordinasi antara DPUTR dan Pemkot dalam mengelola dokumen hukum dan administrasi yang esensial. Jika administrasi dasar saja gagal dipertahankan, lantas bagaimana Pemkot dapat meyakinkan publik bahwa mereka mampu mengelola dana pinjaman ratusan miliar secara efisien?
Diketahui, saat ini, rencana Pemerintah kota Cilegon akan melanjutkan kembali pembangunan tersebut dengan menggunakan skema hutang dari pihak ketiga yang nilainya kurang lebih mencapai 200-300 miliar untuk pembangunan badan jalannya. Namun, untuk pembebasan lahannya, Pemerintah Kota Cilegon masih harus mengalokasikan anggaran dari APBD yang nilainya mencapai 100 miliar rupiah. Artinya akan ada dua sumber pendanaan untuk proyek ini.
Secara visi, JLU memang krusial. Proyek ini sangat dibutuhkan untuk memecah kemacetan truk industri, membuka kawasan utara Cilegon untuk pengembangan baru, serta menarik investasi asing yang selama ini terhambat mahalnya harga lahan di kawasan eksisting.
JLU adalah kunci bagi pertumbuhan ekonomi masa depan Cilegon. Namun, cita-cita mulia ini kerap menjadi komoditas politik yang dijual setiap menjelang Pemilu dan Pilkada. Proyek yang mangkrak akibat masalah anggaran ganda, dugaan penyalahgunaan, dan gagalnya pembebasan lahan kini dihidupkan kembali dengan skema utang yang terkesan terburu-buru.
Pemkot Cilegon harus menghentikan pendekatan “tambal sulam” ini. Mereka wajib bersikap total transparan mengenai skema pinjaman, segera menuntaskan masalah lahan secara adil dan cepat, dan melakukan audit menyeluruh terhadap proyek yang pernah mangkrak. JLU bukan hanya tentang beton dan aspal, melainkan tentang pertanggungjawaban publik dan kepercayaan rakyat atas pengelolaan kas daerah.